Sunday, March 5, 2017

Matoa Cangkok

Setelah menikmati dan memanen beberapa buah Matoa yang ada dirumah ibuku di Sragen aku menikmati Rasa buah yang luar biasa enak nya. Tekstur buahnya hampir mirip dengan buah Kelengkeng tetapi rasanya melebihi dari buah kelengkeng. Matoa sendiri adalah buah khas dari kepulauan Papua kalau tidak salah. Aku sedikit heran pada awalnya kenapa buah Matoa bisa berbuah dan berkembang di pulau Jawa ini
Kemudian aku berpikir kalau aku juga ingin menanam buah Matoa dengan harapan aku bisa menikmati buah nya kelak. Lalu aku mencoba mencangkok pohon Matoa di rumah Ibu dengan harapan aku tidak perlu terlalu lama untuk bisa menikmati nikmatnya buah Matoa karena jika mengandalkan penanaman melalui biji maka akan membutuhkan waktu yang lama untuk bisa memanen buah Matoa tersebut. Akhir bulan Desember 2016 akhirnya aku mencangkok beberapa batang di pohon Matoa milik Ibu, ada 4 batang dahan yang aku coba Cangkok. Kemudian aku memulai mencangkok batang batang tersebut. Karena cuaca masih musim penghujan jadi aku tidak terlalu sering untuk menyiran cangkokan tersebut. Karena dari hujan tersebut bisa jadi untuk menyiram batang dahan yang aku cangkok.
Selang sekitar sebulan aku melihat hasil cangkokan ku tersebut, dan hasilnya adalah akar akar nya mulai tumbuh dan siap untuk di pindahkan ke media tanam yang sebenarnya.

Thursday, February 14, 2013

TQN

I. Sejarah Perkembangannya Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah adalah sebuah tarekat yang merupakan univikasi dari dua tarekat besar, yaitu Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah.[1] Penggabungan kedua tarekat tersebut kemudian dimodifikasi sedemikian rupa, sehingga terbentuk sebuah tarekat yang mandiri dan berbeda dengan kedua tarekat induknya. Perbedaan itu terutama terdapat dalam bentuk-bentuk riyadhah dan ritualnya. Penggabungan dan modifikasi yang sedemikian ini memang suatu hal yang sering terjadi di dalam Tarekat Qadiriyah.[2] 71 Sebelum membahas lebih lanjut tentang sejarah perkembangan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, kiranya perlu diketengahkan sekilas tentang perkembangan kedua tarekat induknya tersebut. Yaitu Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah. 1. Tarekat Qadiriyah Nama tarekat ini dinisbatkan kepada seorang sufi besar yang sangat legendaris, dengan sekian banyak sebutan kehormatan, antara lain : Qutb al-auliya’, shahib al-karamat, dan Sulthan al-auliya’. Ia diyakini sebagai pemilik dan pendiri tarekat ini. Sufi besar itu adalah Syekh Muhyiddin Abd Qadir al-jailani. [3] Syekh Abd. Qadir al-Jailani dilahirkan pada tahun 470 H. (1077 M) di Jilan (Wilayah Iraq sekarang), dan meninggal di Baghdad pada tahun 561 H. (1166 M.) [4] Beliau adalah seorang sufi besar yang kealiman dan kepribadiannya banyak mendapat pujian dari para sufi dan ulama’ sesudahnya.[5] Syekh Abd. Qadir al-Jailani adalah juga seorang ulama’ besar sunni yang bermazhab Hambali yang cukup produktif. Ia telah menulis beberapa karya, satu di antaranya berjudul “Al-Ghun yah li Thabili Thariq al-Haq”. Kitab ini merupakan kitabnya yang sering menjadi rujukan dalam karyanya yang lain. Ini memuat beberapa dimensi keislaman, seperti fikih, tauhid, ilmu kalam, dan akhlaq tasawuf.[6] Dilihat dari beberapa buah karyanya, tidak diragukan lagi bahwa beliau adalah seorang teolog (ahli ilmu kalam), seorang mujtahid dalam fiqih dan juga seorang orator yang piawai. Syekh Abd. Qadir al-Jailani memimpin madrasah dan ribathnya di Baghdad, Sepeninggalnya, kepemimpinannya dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Abd. Wahab (552-593 H./1151-1196 M.) Dan setelah Abd. Wahab wafat, maka kepemimpinannya dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Abd. Salam (w. 611 H./1241 M.) Madrasah dan ribath (pemondokan para sufi), secara turun menurun tetap berada di bawah pengasuhan keturunan Syekh Abd. Qadir al-Jailani. Hal ini berlangsung sampai hancurnya kota Baghdad oleh ganasnya serangan tentara Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan (1258 M./656 H.). Serangan Hulagu Khan inilah yang menghancurkan sebagian besar keluarga Syekh Abd. Qadir al-Jailani, serta mengakhiri eksistensi madrasah dan ribath-nya di kota Baghdad[7]. Perkembangan tarekat ini ke berbagai daerah kekuasaan Islam di luar Baghdad adalah suatu hal yang wajar. Karena sejak zaman Syekh Abd. Qadir al-Jailani, sudah ada beberapa muridnya yang mengajarkan metode dan ajaran tasawufnya ke berbagai negeri Islam. Di antaranya ialah : Ali Muhammad al-Haddad di daerah Yaman, Muhammad al-Batha’ihi di daerah Balbek dan di Syiria, dan Muhammad ibn Abd. Shamad menyebarkan ajarannya di Mesir. Demikian juga karena kerja keras dan ketulusan putera-puteri Syekh Abd. Qadir al-Jailani sendiri untuk melanjutkan tarekat ayahandanya, sehingga pada abad 12-13 M, tarekat ini telah tersebar ke berbagai daerah Islam, baik di Barat maupun di Timur. Menurut Trimingham, Tarekat Qadiriyah sampai dengan sekarang ini (abad XX), masih merupakan tarekat yang terbesar di dunia Islam, dengan berjuta-juta pengikutnya. Mereka tersebar di berbagai penjuru dunia, seperti Yaman, Mesir, India, Turki, Syiria, dan Afrika. Trimingham juga mencatat, ada 29 jenis tarekat baru yang merupakan modifikasi baru dari Tarekat Qadiriyah (Qadiri Group’s).[8] ini terjadi karena dalam Tarekat Qadiriyah ada kebebasan bagi para murid yang telah mencapai tingkat mursyid, untuk tidak terikat dengan metode yang diberikan oleh mursyidnya, dan bisa membuat metode riyadlah tersendiri.[9] Keduapuluh sembilan jenis tarekat tesebut menyebar ke berbagai belahan dunia Islam, di samping Tarekat Qadiriyah itu sendiri, dan tarekat-tarekat lain yang belum terjangkau dalam penelitian Trimingham, seperti Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Indonesia. Tarekat ini masuk Indonesia sekitar tahun 1870-an. 2. Tarekat Naqsyabandiyah Nama tarekat besar ini dinisbatkan kepada seorang sufi besar yang hidup antara tahun 717 H./1317 M.-791 H./1389 M. di kota Bukhara, wilayah Yugolavia sekarang. Ia adalah Muhammad ibn Muhammad Baha’uddin al-Uwaisi al Bukhari al-Naqsyabandi. Al-Naqsyabandi di lahirkan di desa Hinduan yang terletak beberapa kilometer dari kota Bukhara, di sini pula ia wafat dan dimakamkan.[10] Tarekat ini selain dikenal dengan nama Tarekat Naqsyabandiyah, juga disebut dengan Tarekat Khawajakiyah. Nama ini dinisbatkan kepada Abd. Khaliq Ghujdawani (w. 1220 M.). Ia adalah seorang sufi dan mursyid tarekat itu, dan merupakan kakek spiritual al-Naqsyabandi yang keenam. Ghujdawani adalah peletak dasar ajaran tarekat ini, yang kemudian ditambah oleh al-Naqsyabandi. Karena Ghujdawani hanya merumuskan delapan ajaran pokok, maka setelah ditambah oleh al-Naqsyabandi dengan tiga ajaran pokok, maka ajaran Tarekat Naqsyabandiyah menjadi sebelas.[11] Pusat perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah ini berada di daerah Asia Tengah.[12] Dan diduga keras bahwa tarekat ini telah menyebar sejak abad 12 M., dan sudah ada pemimpin lasykar yang menjadi murid Ghujdawani. Sehingga tarekat ini berperan penting dalam kerajaan Timurid. Apalagi setalah tarekat ini berada di bawah kepemimpinan Nashiruddin Ubaidillah al-Ahrar (1404-1490 M.), maka hampir seluruh wilayah Asia Tengah “dikuasai” oleh Tarekat Naqsyabandiyah.[13] Tarekat Naqsyabandiyah mulai masuk ke India, diperkirakan mulai pada masa pemerintahan Babur pendiri kerajaan Mughal, (w. 1530 M.) di India. Karena masa kepemimpinan Ubaidillah al-Ahrar (Asia Tengah) Yunus Khan Mughal paman Barbur yang tingal di pemukiman Mongol sudah menjadi pengikut tarekat ini. Akan tetapi perkembangan di India baru mulai pesat setelah kepemimpinan Muhammad Baqi’Billah (w. 1603 M.).[14] Annameri Schimel, banyak menulis tentang peranan para tokoh Naqsyabandiyah di India, di antaranya adalah Ahmad Faruqi Shirhindi (w. 1642 M.) dan Syah Waliyullah al-Dahlawi (w. 1762 M.), seorang tokoh pembaharu yang cukup terkenal.[15] Masuknya Tarekat Naqsyabandiyah ke Makkah justru melalui India. Tarekat ini dibawa oleh Tajuddin ibn Zakaria (w. 1050 H./ 1640 M.) ke Makkah.[16] Pada abad XIX M. Tarekat Naqsyabandiyah telah memiliki pusat penyebaran di kota suci ini, sebagaimana tarekat-tarekat besar yang lain. Snouck Hurgronje memberitakan, bahwa pada masa itu terdapat markas besar Tarekat Naqsyabandiyah di kaki gunung Jabal Qubais di bawah kepemimpinan Sulaiman Effendi. Ia memperoleh banyak pengikut dari berbagai negara, dengan melalui jamaah haji, termasuk jamaah haji dari Indonesia.[17] Menurut Trimingham, seorang syekh Naqsyabandiyah di Minagkabau dibai’at di Makkah pada tahun 1845 M.[18] Sehingga di Arab sekarang ini setidaknya terdapat tiga cabang besar Tarekat Naqsyabandiyah, yaitu Khalidiyah di Makkah, Mazhariyah di Madinah, dan Mujaddidiyah (murni) di Makkah. Dari kedua kota suci ini kemudian Tarekat Naqsyabandiyah ini masuk ke Indonesia. Akan tetapi dari ketiga jalur (cabang) tersebut, jalur ketiga tidak banyak diketahui keberadaannya di Indonesia. 3. Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah Suryalaya Tarekat ini didirikan oleh sufi dan syekh besar masjid al-Haram di Makkah al-Makarrammah. Ia bernama Ahmad Khathib ibn Abd. Ghaffar al-Sambasi al-Jawi. Ia wafat di Makkah pada tahun 1878 M. Beliau adalah seorang ulama besar dari Indonesia, yang tinggal sampai akhir hayatnya di Makkah. [19] Syekh Ahmad Khatib adalah seorang mursyid Tarekat Qadiriyah, di samping juga ada yang menyebutkan bahwa beliau adalah juga mursyid dalam Tarekat Naqsyabandiyah. [20] Akan tetapi beliau hanya menyebutkan silsilah tarekatnya dari sanad Tarekat Qadiriyah. [21] Dan sampai sekarang belum diketemukan, dari sanad mana beliau menerima bai’at Tarekat Naqsyabandiyah. Sebagai seorang mursyid yang sangat ‘alim dan ‘arif billah, Syekh A.Khathib memiliki otoritas untuk membuat modifikasi tersendiri bagi tarekat yang dipimpinnya. Karena dalam Tarekat Qadiriyah memang ada kebebasan untuk itu, bagi yang telah mencapai derajat mursyid.[22] Tetapi yang jelas pada masanya telah ada pusat penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah di kota suci Makkah maupun di Madinah.[23] Sehingga sangat dimungkinkan ia mendapat bai’at Tarekat Naqsabandiyah dari kemursyidan tarekat tersebut. Kemudian ia menggabungkan inti ajaran kedua tarekat tersebut, yaitu Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah dan mengajarkan pada murid-muridnya khususnya yang berasal dari Indonesia. Penggabungan inti ajaran kedua tarekat itu, dimungkinkan atas dasar pertimbangan logis dan strategis bahwa kedua ajaran inti itu bersifat saling melengkapi, terutama dalam hal jenis dzikir dan metodenya. Tarekat Qadiriyah menekankan ajarannya pada dzikir jahr (bersuara), sedangkan Tarekat Naqsyabandiyah menekankan model dzikir sirr (diam), atau dzikir lathaif. [24] Dengan penggabungan itu diharapkan para muridnya dapat mencapai derajat kesufian yan lebih tinggi, dengan cara yang lebih efektif dan efisien. Akan tetapi dinyatakan dalam kitabnya “Fath al-Arifin”, bahwa sebenarnya tarekat ini tidak hanya merupakan univikasi dari dua tarekat tersebut. Tetapi, merupakan penggabungan dan modivikasi dari lima ajaran tarekat, yaitu Tarekat Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Anfasiah, Junaidiyah, dan Muwafaqah.[25] Hanya karena yang diutamakan ajaran Qadiriyah dan Naqsyabandiyah, maka diberi namalah tarekat ini “ Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah”. Konon tarekat ini tidak berkembang di kawasan lain ( selain wilayah Asia Tenggara ).[26] Penamaan tarekat ini tidak terlepas dari sikap rendah diri (tawadlu’) dan mengagungkan guru (ta’zhim) Syekh Ahmad Khathib yang sangat alim itu, kepada pendiri kedua tarekat tersebut. Sehingga beliau tidak menitsbatkan nama tarekatnya itu pada dirinya. Padahal melihat modifikasi ajaran, dan tata cara ritual tarekatnya, sebenarnya lebih tepat kalau dinamakan dengan Tarekat Khatibiyah atau Sambasiah. Karena memang tarekat ini merupakan hasil ‘ijtihad’-nya. Syekh Ahmad Khatib telah memadukan keunikan-keunikan beberapa tarekat ( Tarekat Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Anfasiah, Junaidiyah, dan Mufaqah ) dalam suatu tarekat yang mandiri. Syekh Ahmad Khatib memiliki banyak murid dari beberapa daerah di kawasan Nusantara, dan beberapa orang khalifah. Di antara khalifah-khalifahnya yang terkenal dan kemudian menurunkan murid-murid yang banyak sampai sekarang ini adalah : Syekh Abd. Karim al-Bantani, Syekh Ahmad Thalhah al- Cireboni, dan Syekh Ahmad Hasbu al-Maduri. Sedangkan khalifah-Khalifah yang lain, seperti : Muhammad Isma’il ibn Abd. Rachim dari Bali, Syekh Yasin dari Kedah Malaysia, Syekh Haji Ahmad Lampung dari Lampung (Sum-Sel), dan M. Ma’ruf ibn Abdullah al-Khatib dari Palembang, kurang begitu berarti dalam sejarah perkembangan tarekat ini. [27] Syekh Muhammad Isma’il (Bali) menetap dan mengajar di Makkah. Sedangkan Syekh Yasin setelah menetap di Makkah, belakangan menyebarkan tarekat ini di Mempawah Kalimantan Barat. Adapun Haji Lampung dan M. Ma’ruf al-Palimbangi masing-masing turut membawa ajaran tarekat ini ke daerahnya masing-masing.[28] Penyebaran ajaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di daerah Sambas (asal daerah Syekh Ahmad Khatib), dilakukan oleh kedua khalifahnya, yaitu Syekh Nuruddin dari Philipina dan Syekh Muhammad Sa’ad putera asli Sambas.[29] Mungkin karena sistem penyebarannya yang tidak didukung oleh sebuah lembaga yang permanen (sebagaimana pesantren-pesantren di Pulau Jawa), maka penyebaran yang dilakukan oleh para khalifah Syekh Ahmad Khatib di luar pulau Jawa kurang begitu berhasil. Sehingga sampai sekarang ini, keberadaannnya tidak begitu dominan. Setelah wafatnya Syekh Ahmad Khatib, maka kepemimpinan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Makkah (pusat), dipegang oleh Syekh Abd. Karim al-Bantani. Dan semua khalifah Syekh Ahmad Khatib menerima kepemimpinan ini. Tetapi setelah Syekh Abd. Karim al-Bantani meninggal, maka para khalifah tersebut kemudian melepaskan diri, dan masing-masing bertindak sebagai mursyid yang tidak terikat kepada mursyid yang lain. Dengan demikian berdirilah kemursyidan-kemursyidan baru yang independen.[30] Khalifah Syekh Ahmad Khatib yang berada di Cirebon, yaitu Syekh Thalhah, ia mengembangkan tarekat ini secara mandiri. Kemursyidan yang dirintis oleh Syekh Thalhah ini kemudian dilanjutkan oleh khalifahnya yang terpenting. Ia adalah Abdullah Mubarak ibn Nur Muhammad.. Dia kemudian mendirikan pusat penyebaran tarekat ini di wilayah Tasikmalaya (Suryalaya). Sebagai basisnya didirikanlah pondok pesantren Suryalaya. Dan belakangan nama beliau sangat terkenal dengan panggilan Abah Sepuh. [31] Kepemimpinan tarekat yang berada di Suryalaya ini, setelah meninggalnya Abah Sepuh digantikan oleh Abah Anom. Ia adalah putra Abah Sepuh (Abdullah Mubarak), yang bernama A. Shahibul Wafa Tajul Arifin. Beliau memimpim pesantren dan tarekat ini sampai sekarang. Di bawah kepemimpinan Abah Anom ini Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di kemursyidan Suryalaya berkembang sangat pesat. Dengan menggunakan metode riyadlah dalam tarekat ini, Abah Anom mengembangkan psikoterapi alternatif, terutama bagi para remaja yang mengalami degradasi mental karena penyalahgunaan obat-obatan terlarang (narkoba), seperti; ganja,potau, morfin, heroin dan sebagainya. Mursyid ini mempunyai wakil talqin, yang cukup banyak, dan tersebar di tiga puluh lima daerah. Termasuk dua diantaranya di Singapura dan Malaysia. [32] Kemursyidan Tarekat Qadiriyah Naqsybandiyah di Tasikmalaya berpusat di pondok pesantren Suryalaya yang berarti matahari terbit. Sebuah pesantren di kampung Godebag, Tanjung Kerta Pagerageng, Tasikmalaya Jawa Barat, 30 km dari ibukota kabupaten dan 80 km dari kota Bandung. Pondok Pesantren Suryalaya ini sejak awal didirikannya (oleh Syekh Haji Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad, 7 Rojab 1323 H (5 September 1905)[33] adalah merupakan pusat tarekat (kemursidan) Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah, karena pendiri pesantren ini adalah mursyid tarekat tersebut. Dari kemursyidan Tasikmalaya ini, Tarekat Qadiriyah–Naqsyabandiyah menyebar ke seluruh penjuru Nusantara, bahkan sampai di negeri-negeri tetangga, yaitu Singapura dan Malaysia. Di bawah kepemimpinan mursyid yang sekarang ini (Syekh KH. Ahmad Shohibul wafa Tajul Arifin atau Abah Anom), tarekat ini berkembang dengan sangat pesatnya sehingga beliau mempunyai wakil pentalqin (badal) di tiga puluh lima daerah, termasuk di antaranya di dua negara tetangga tersebut.[34] Di antara keunikan Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah kemursyidan Tasikmalaya ini, adalah Filosofi penyebaran ajarannya. Pada umumnya kaum muslimin pengikut faham Ahli al-sunnah wal jama’ah (sunni) dan pengikut Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah khususnya, berkeyakinan bahwa seorang yang memasuki dunia tasawuf atau tarekat “dipersyaratkan” telah memiliki ilmu dan amaliyah syari’at yang mantap. Karena tarekat dianggap sebagai jenjang dan tingkat kehidupan keagamaan di atas jenjang syari’at. Karena alasan ini, maka kebanyakan pengikut tarekat (di luar kemursyidan Suryalaya) adalah mereka yang telah mengenal ilmu syari’at dengan baik, atau setidaknya telah menjalankan perintah agama secara disiplin. Lain halnya dengan filosofi yang dipegangi oleh kemursyidan-kemursyidan tersebut, dalam kemursyidan Suryalaya, filosofi da’wah (penyebaran ajaran) yang dipegangi adalah, bahwa agar seorang dapat memeluk agama Islam secara baik dan benar yang pertama kali harus diperkuatkan adalah ajaran tauhid atau iman, bukan ajaran syari’at atau Islam. Seorang harus kenal dan cinta terlebih dahulu dengan Tuhan, baru kemudian dia akan mudah melaksanakan syari'at (ketentuan-ketentuan Tuhan).[35] Karena logika ini, maka kemursyidan ini dapat menerima anggota baru yang sama sekali awam dalam bidang ilmu dan amal-amal keislaman. Bahkan para remaja yang sudah sangat rusak moralnya, akibat penyalahgunaan obat-obat terlarang diajarkan untuk mengamalkan ajaran tarekat ini juga. Dengan mengamalkan ajaran tarekat dengan baik (khususnya dzikir), maka seseorang akan terbuka kesadarannya untuk dapat mengamalkan syari’at dengan baik, walaupun secara kognetif tidak banyak memiliki ilmu keislaman. Karena ia akan mendapat pengetahuan dari Tuhan (ma’rifah) dan cinta Tuhan (mahabbah), karena buah (tsamrah) nya dzikir. Dan juga karena buahnya dzikir, maka dalam diri seseorang terjadi penyucian jiwa (tazkiyat al-nafsi). Dan dengan jiwa yang suci seseorang akan dengan ringan dapat melaksanakan syari’at Allah. Kenal dan cinta kepada Allah adalah kunci kebahagiaan hidup, kenyakinan para sufi memang “Mengenal Allah adalah permulaan orang beragama”. Dan karena secara empiris kebenaran logika ini telah terbukti, bahwa orang-orang yang telah diperkenalkan dengan Tuhan dan diajari (ditalqin) menyebut Asma Allah berubah menjadi manusia yang berkepribadian baik, maka akhirnya sejak tahun 1971 Abah Anom sering mendapat titipan anak (remaja) yang sedang mengalami kelainan jiwa untuk dibina dengan metode tarekat, maka akhirnya didirikanlah pondok remaja inabah, sebagai laboratorium psikoterapi Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah. Para pasien dan sekaligus murid tarekat ini dibina dan disadarkan dengan pendekatan sufistik. Di mana mereka diajak berpraktek membersihkan jiwa (tazkiyat al-nafsi), agar muncul kesadaran diri (self conciousness). Sehingga berubah sikap mental dan perilakunya yang semula distruktif menjadi perilaku yang konstruktif. Karena tanggapan dan sambutan masyarakat terhadap berdirinya pondok remaja cukup baik, maka pondok ini terus berkembang sampai sekarang. Kemursyidan Tasikmalaya ini sekarang mempunyai 23 pondok inabah. Dari apa yang dipraktekkan di pondok tersebut, dilakukan kajian dan analisis tentang tazkiyatun nafsi sebagai metode psikoterapi dalam disertasi ini. Di sini juga diuraikan tentang ajaran-ajaran dasar dalam terakat ini.